Tanggal 1 Juni kemarin diperingati hari lahirnya PANCASILA.Pancasila sebagai pandangan hidup yang mengedepankan perihal Ketuhanan dalam berbagai catatan sejarah bangsa Indonesia di masa Orde Baru diklaim terdistorsi dengan paham komunis yang terkesan kelewat
revolusioner dan anti-Tuhan. Beberapa tahun kemudian, ideologi Nasakom
(Nasionalis, Agama dan Komunis) yang digagas Soekarno karena hendak
memberikan ruang bagi PKI dan komunisme menjadi bumerang bagi
pemerintahan Soekarno.
Puncaknya adalah pemberontakan G30S yang di masa Orde Baru disebutkan
didalangi PKI. Film penyiksaan dan pembunuhan yang sadis itu membuat
siapa pun akan merinding mendengar nama PKI. Tanggal 1 Oktober pun
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yang menjadi tanda bahwa
Pancasila telah menang atas “kuasa jahat” PKI dan komunisme.
Pemerintahan yang dijalankan oleh SOEHARTO secara umum berhasil
menanamkan suatu KETAKUTAN dan bahkan KEJIJIKAM terhadap Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunisme. Kita yang pernah hidup di
masa itu tahu, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan komunisme dan PKI HARAM hukumnya untuk DITELUSURI dan DIPELAJARI. Penataran-penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) digelar dalam berbagai
institusi. INDOKTRINASI yang kaku ini dinilai sebagian kalangan cukup
berhasil, walau banyak juga yang menyatakan bahwa sakralitas Pancasila
menjadi PUDAR karenanya.
TAN MALAKA
Tan Malaka memiliki peran yang cukup besar dalam Partai Komunis
Indonesia (PKI). Ia pengagum berat ajaran-ajaran Marx dan Lenin. Tahun
1921 ia menjadi KETUA PKI menggantikan ketua PKI saat itu, Semaun,
yang sedang berada di Moskow. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Tan
agak berseberangan dengan beberapa tokoh komunis dalam negeri seperti
Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso.Hal ini bermula pada rapat PKI
tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, Semarang, yang memutuskan
mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Tan menilai PKI tidak siap
melakukan hal itu. Ia meramalkan banyak kegagalan yang bakal dituai PKI
dalam aksi itu. Ia menulis sebuah buku Massa Actie (Aksi Massa) untuk
dijadikan bahan pembelajaran bersama sebelum sebuah aksi pemberontakan
digelar. Buku Massa Actie yang ditulisnya di Singapura tidak sampai
sasaran — belakangan malah dijadikan para nasionalis sebagai bahan
pembelajaran melawan imperialisme.
PKI tetap melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda di beberapa
daerah di Jawa dan Sumatera pada 12 November 1926 sampai 12 Januari
1927. Target pemberontakan mereka banyak yang gagal. Banyak pemimpin
PKI yang ditangkap dan dibuang. Namun Tan diakui di dunia
internasional. Ia tetap menjadi anggota Komintern (Komunis
Internasional), menjadi pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina,
Thailand, Burma, dan Vietnam. Dengan beberapa kawan ia mendirikan
Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada bulan Juni 1927.
Tan Malaka yang lahir pada tahun 1897 adalah seorang yang di masa
kecilnya mewarisi tradisi Minang: rajin sembahyang, tidur di masjid,
dan hapal Qur’an. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Saya lahir
dalam keluarga Islam yang taat. Ibu-bapak saya keduanya taat dan orang
(yang) takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi,” tulisnya dalam
buku Islam dalam Tinjauan Madilog.
Ignas Kleden, sosiolog, menyebutnya Tan Malaka “Marxis tulen dalam
pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya.” Salah
satu pandangan Tan tentang agama ada dalam baris-baris kalimat berikut,
yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional
tahun 1922 di Rusia:
“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim —
ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak?
Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di
depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di
depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan
bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”
***
Di hari Pancasila ini, baiklah kita merenungkan bahwa tidak semua orang
yang dekat dengan PKI dan komunisme tak memberikan sumbangsih apa pun
bagi kemajuan bangsa ini. Tidak perlu menjadi seorang sejarawan dengan
disiplin ilmu yang ketat untuk berpikir jernih tentang masa lalu.
Mungkin ini sedikit naif. Namun, pertanyaannya: apakah semua orang
menjadi pemuka agama ketika menganut sebuah agama? Apakah saya harus
menjadi pendeta, dan saudara-saudara saya yang Muslim harus menjadi kiai
atau ustad dulu, atau mereka yang Buddha harus menjadi bhiksu dulu,
baru kita bisa berpikir jernih tentang agama? Tidak.
Sangat disayangkan, di masa kini banyak orang yang masih antipati
dengan hal-hal tertentu, seperti komunisme, tanpa pernah berusaha tahu —
paling tidak sekilas — tentang tentang hal-hal tersebut. Demikian pula
dengan Tan Malaka. Tan Malaka jelas-jelas seorang yang tidak
anti-Tuhan. Waktu saya membaca karyanya yang berjudul Pandangan Hidup,
saya terkesan dengan wawasan yang ia miliki dalam hal filsafat dan
agama. Ia menjabarkan berbagai ilmu filsafat dan agama yang telah
membentuk kehidupan di dunia ini — dari teori evolusi Darwin, Islam,
Kristen, Yunani, India, dan masih banyak yang lainnya.
Pemikir seperti Tan Malaka memang sudah jarang di zaman ini. Sebabnya,
zaman sudah lain. Kita lebih banyak berpikir tentang bagaimana bertahan
hidup di zaman yang penuh tantangan makin keras akibat arus globalisasi
yang makin deras. Kita lebih banyak memikirkan kondisi perut kita
sendiri. Tan Malaka, saat ia hidup, sibuk memikirkan seperti apa
Indonesia pada nantinya. Ia tidak menikah dan berkeluarga karena
hidupnya yang sulit dan berpindah-pindah. Ia menyamar di banyak
kesempatan, menjadi buron karena harus menghindar dari intaian mata-mata
pemerintah kolonial yang pro-kapitalis.
Hidupnya bahkan berakhir tragis, ditembak mati di tanah air dan
republik yang ia cita-citakan memiliki kemerdekaan sendiri.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka begitu visioner — ia memandang jauh ke
depan. Bahkan sebelum Soekarno membuat risalah berjudul Mencapai
Indonesia Merdeka tahun 1933, ia telah menyebut Indonesia sebagai
“republik” pada tahun 1925 lewat karyanya berjudul Menuju Republik
Indonesia. Dibandingkan dengan berbagai tokoh lain di zamannya, Tan
Malaka adalah bapak bangsa yang paling banyak menulis.
Sampai kapan dan sejauh mana pemikiran-pemikiran Tan Malaka hidup?
Tidak akan pernah ada yang tahu. Secara garis besar, Tan Malaka adalah
sosok yang sangat anti-kapitalis, namun bangsa kita, yang berideologi
Pancasila ini, kian kapitalis. Bukan hanya kapitalis, Pancasila pun
kian terkikis. Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan, diancam
dengan berbagai teror dan toleransi antar umat beragama yang kian
renggang. Sila Kerakyatan diinjak-injak oleh wakil-wakil rakyat dan
pejabat yang haus jabatan dan kekuasaan. Sila Keadilan terancam dengan
korupsi yang menjadi-jadi dan perlakuan yang semena-mena terhadap
rakyat kecil.
Sudah waktunya warisan para pendiri bangsa di masa lalu kita tilik
ulang untuk menata kehidupan di masa kini. Misalnya dalam hal ekonomi.
Soekarno mewariskan paham Marhaenisme yang amat dekat dengan sosialisme
ala Tan Malaka. Hatta menyampaikan gagasan-gagasan ekonomi kerakyatan
yang memberdayakan rakyat sebagai pelaku kegiatan ekonomi.
Paling tidak, dengan mempelajari gagasan-gagasan para pendiri bangsa,
kita bisa mengetahui ke mana bangsa ini mau dibawa, atau apa-apa saja
yang sejak dulu sebenarnya sudah menjadi keunggulan di bangsa ini. Dan,
ketika di masa kini kita tidak lagi menemukan suatu cara untuk menata
kehidupan berbangsa dan bernegara, sebuah slogan, historia docet,
menemukan kebenarannya. Historia docet artinya sejarah mengajar —
mengajar kita untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
KOMPASIANA