![]() |
| Ternyata Bapak bangsa yg satu ini narsis juga yaa hhehe |
Tan Malaka lahir di Pandan Gading-Sumatra Barat, tahun 1897. Pendidikan yang ditempuhnya: Sekolah Dasar di Suluki, Sekolah Guru di Bukittinggi dan Sekolah Guru Haarlem Belanda. Semasa di Sekolah Guru di Belanda, ia menonjol dalam ilmu pasti sehingga guru-gurunya kerap memberi pujian. Selanjutnya, Tan Malaka lebih memberi perhatian pada kemiliteran.
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Pada Juni 1927 di Bangkok Thailand, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Antara tahun 1942-1943, ia menulis "Madilog" (Materialisme, Dialog, Logika) yang menyuguhkan gagasan Tan Malaka mengenai cara berpikir baru untuk memerangi cara berpikir lama (dipengaruhi tahayul atau mistik yang menyebabkan orang menyerah secara total kepada alam).
Pada awal bulan September 1945, Tan Malaka mengunjungi Soekarno di rumah dokter pribadinya, dr. Soeharto. Dalam percakapan yang disaksikan oleh Sajuti Melik, Tan Malaka mendesak Presiden untuk mengundurkan diri ke pedalaman untuk mengatur perlawanan bersenjata yang lebih efektif.
Hasil percakapannyanya dengan Tan Malaka itu membuat Soekarno terkesan sehingga Soekarno menyatakan jika terjadi sesuatu dengan dirinya maka Tan Malaka mengambil alih segala tanggung jawabnya. Penjelasan Soekarno tersebut kemudian diceritakan Tan Malaka kepada kawannya, Soebardjo, yang mana kemudian mereka berdua berinisiatif membuat surat wasiat.
Surat wasiat tersebut segera mengalami kadaluarsa ketika Jenderal Christison menjamin bahwa Inggris akan menghormati pemerintahan Soekarno dan membuka jalur perundingan dengan pihak sekutu dan Belanda
Pemikiran dialektiknya terlihat dari sikapnya yang mempertentangkan golongan tua (Soekarno-Hatta) dengan golongan muda (pemuda pejuang). Ia sinis terhadap golongan tua yang mau bekerja sama dengan golongan penjajah, sekaligus menaruh harapan pada golongan muda sebagai ujung tombak perjuangan. Meski Tan Malaka sinis terhadap golongan tua (Soekarno-Hatta), namun ketika pemerintah di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta tetap mengapresiasi perjuangannya.
Tahun 1946, ia ditangkap dengan tuduhan menggerakan rakyat menentang Persetujuan Linggarjati, antara Belanda dan Indonesia. Tidak lama kemudian ia juga dituduh terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946, yakni peristiwa kudeta terhadap pemerintah. Namun dalam pengadilan ia dinyatakan tidak terlibat atau tidak bersalah, sehingga ia mesti dibebaskan.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Pada awal bulan September 1945, Tan Malaka mengunjungi Soekarno di rumah dokter pribadinya, dr. Soeharto. Dalam percakapan yang disaksikan oleh Sajuti Melik, Tan Malaka mendesak Presiden untuk mengundurkan diri ke pedalaman untuk mengatur perlawanan bersenjata yang lebih efektif.
Hasil percakapannyanya dengan Tan Malaka itu membuat Soekarno terkesan sehingga Soekarno menyatakan jika terjadi sesuatu dengan dirinya maka Tan Malaka mengambil alih segala tanggung jawabnya. Penjelasan Soekarno tersebut kemudian diceritakan Tan Malaka kepada kawannya, Soebardjo, yang mana kemudian mereka berdua berinisiatif membuat surat wasiat.
Surat wasiat tersebut segera mengalami kadaluarsa ketika Jenderal Christison menjamin bahwa Inggris akan menghormati pemerintahan Soekarno dan membuka jalur perundingan dengan pihak sekutu dan Belanda
Pemikiran dialektiknya terlihat dari sikapnya yang mempertentangkan golongan tua (Soekarno-Hatta) dengan golongan muda (pemuda pejuang). Ia sinis terhadap golongan tua yang mau bekerja sama dengan golongan penjajah, sekaligus menaruh harapan pada golongan muda sebagai ujung tombak perjuangan. Meski Tan Malaka sinis terhadap golongan tua (Soekarno-Hatta), namun ketika pemerintah di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta tetap mengapresiasi perjuangannya.
Tahun 1946, ia ditangkap dengan tuduhan menggerakan rakyat menentang Persetujuan Linggarjati, antara Belanda dan Indonesia. Tidak lama kemudian ia juga dituduh terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946, yakni peristiwa kudeta terhadap pemerintah. Namun dalam pengadilan ia dinyatakan tidak terlibat atau tidak bersalah, sehingga ia mesti dibebaskan.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."





