Kamis, 27 November 2014

Rendang dan Nasi Bungkus

Makanan yang saya ingin makan sekarang adalah rendang. Rendang adalah masakan yang berasal dari Sumatra Barat dan diyakini sebagai salah satu makanan terlezat di dunia. Jika ingin tahu bumbu-bumbu rendang silahkan searching sendiri di internet karena saya belum bisa masak rendang hehehhe.

Saya sering membeli rendang di Rumah Makan Kota Buana. Rumah makan ini terletak di jalan Riau, Jalan Subrantas dan Jalan Cokroaminoto *koreksi jika penulisan saya salah. Saya merasa rendang di Kota Buana ini enak. Saya sebagai orang yang tidak bisa makan cabe dan phobia dengan jika cabe itu berwarna merah, saya menyukai makanan yang enak ini. Rendangnya tidak terlalu pedas. Karena saya sudah mencoba berbagai macam rendang, ini yang tidak pedas menurut lidah saya.

Ketika saya membeli rendang, saya tidak memilih untuk makan disana, karena porsinya sedikit. Lebih baik di bungkus karena porsinya banyak. Saya mulai bertanya-tanya mengapa kalau dibungkus porsinya banyak ya?. Usut punya usut, zaman dahulu rumah makan padang sudah ada sejak zaman penjajahan. Yang makan di rumah makan hanya orang-orang tertentu, seperti kompeni, bangsawan atau orang kaya. Pihak rumah makan membungkuskan makanan untuk dinikmati oleh masyarakat biasa atau pribumi ketika itu, mereka membungkus dengan porsi banyak agar rakyat tidak kelaparan. saya mendapatkan cerita ini dari seorang pemilik rumah makan di Sumatra Barat dan  hingga kini masih dilakukan seperti itu.

Sebagai orang minang, saya bangga dengan makanan bernama rendang. Semoga rendang tetap milik Indonesia.
Rendang tu lamak bana !

Senin, 13 Oktober 2014

ENERGY FOR BETTER A LIFE

Listrik adalah sesuatu yang sangat dibutukan untuk kehidupan. Di zaman modern, kebutuhan listrik menjadi hal yang paling pokok, karena kehidupan masyarakat sekarang tidak lepas dari yang namanya listrik. Di kota saya Pekanbaru, sering terjadi pemadaman listrik, karena pasokan energi listrik tidak cukup memadai dengan pemakaian listrik masyarakat.

Ketika saya dan teman-teman saya  mengikuti kuliah kerja nyata atau KKN di desa-desa pedalaman Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, masih ada desa yang listriknya menyala hanya 12 jam, terkadang listrik mulai menyala jam 12 siang dan padam kembali jam 9 malam.  Lewat Blog ini, saya menyampaikan ide saya untuk membantu PLN menjadi lebih baik.

Saya pernah membaca berita online tentang pemanfaatan energi alternative yang aman. Ada sebuah desa  yaitu desa Watugaluh, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, salah seorang warga bernama Pak Miftahul Hinan memanfaatkan kotoran sapi menjadi energi pembangkit listrik. Membuat energi listrik dari kotoran sapi tidaklah sulit. Menurut beliau, pertama Kotoran sapi dialirkan dalam sebuah septictank yang didesain secara khusus untuk difragmentasikan menjadi bio gas. Untuk membuat septictank bio gas dibutuhkan biaya sekitar 11 juta rupiah. Beliau menambahkan bahwa untuk mendapatkan daya listrik 500 watt dibutuhkan 25 ekor sapi. Ini adalah salah satu energi alternative yang sangat bisa dipakai di desa.

sumber : okezone
Di kota-kota besar,pasti pemakaian listrik masyarakat lebih banyak dari desa, masyarakat kota akan mengeluh jika listrik padam, kemudian mereka lewat media sosial akan mengeluh akan kinerja PLN, ada yang sopan ada yang tidak sopan. Tetapi masalah itu bisa terasi, menurut Dhanang Restamurti, mahasiswa Universitas Indonesia dalam Skripsinya yang berjudul “PLTU – Sampah Kota Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah dan Kebutuhan Energi Listrik di Kota”.  Dhanang Restamurti mengambil sampel pada kota Jakarta.   

“Briket Sampah Padat berupa campuran kertas, karet -kulit, kain clan kayu, dapat menjadi alternatif yang baik untuk menanggulangi masalah kebutuhan energi listrik dan sekaligus masalah sampah di kota Jakarta. Energi panas hasil pembakaran briket sampah padat dikonversikan menjadi energi mekanik dan kemudian menjadi energi listrik didalam suatu Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sampah Kota. Sekitar 6,1% dari volume sampah Jakarta yang mencapai 27.966 m3 atau sekitar 37.194,8 ton per hari dapat dibentuk menjadi briket sampah padat yang dapat digunakan untuk pembangkitan daya listrik sebesar 85 MW atau energi listrik sebesar 734,4 GWh per tahun, dengan asumsi produksi listrik, 24 jam selama 360 hari. 
Ternyata dari sampah, kita bisa membuat energi pembangkit listrik. Tentu kita butuh tenaga-tenaga ahli yang banyak sekali di Indonesia yang sudah melakukan penelitian hal yang luar biasa ini. Masalah listrik di Negara ini bisa teratasi.

Selain masalah sumber energi listrik, PLN juga punya masalah lain, yaitu pencurian listrik. Masyarakat mencuri listrik lewat kabel-kabel milik PLN, padahal ini berbahaya dan perbuatan illegal. Semoga PLN lebih menertibkan pelaku-pelaku yang seperti ini.

Semoga tulisan di Blog ini berguna untuk perbaikan masalah kelistrikan di negeri kita. PLN ? ENERGY FOR BETTER A LIFE !!!






 
Referensi :
 - http://techno.okezone.com/read/2013/04/04/56/786101/redirect
- http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20242539&lokasi=lokal

Rabu, 08 Oktober 2014

Pada Sebuah Perjalanan

Aku tidak pernah berpikir kita dipertemukan.  Dalam sebuah bus menuju tempat yang asing. Kita bertemu pada sebuah perjalanan yang membuat kesan pertama yang baik, kita bahasa yang seluruh dunia mengerti. Kita berbicara menggunakan sebuah alat penerjemah karena kita berasal dari belahan dunia yang berbeda. Matamu yang bermata sipit dan berkulit putih adalah identitas dari rasmu yang membuatku tidak perlu susah menebak kamu dari mana, kamu juga lansung menebakku dengan orang melayu, tetapi kamu selalu salah menebak negara asalku hingga aku sendiri yang memberi tahumu.

Kita bercerita apapun tentang tempat yang kita akan tuju walaupun diselingi dengan kebingungan berkomunikasi, tapi kita merasa itu tidak menjadi hambatan kita untuk saling berbicara, bahkan terkesan lucu karena bahasa Inggris masing-masing dari kita masih amburadul. Setelah saling berbicara dengan aneh, ternyata tempat yang kita tuju sama. Karena sama-sama membawa badan seorang diri, kita sepakat untuk melakukan perjalanan ini berdua. Aku tidak berpikir macam-macam, karena tujuan kita sama, kita juga sama-sama bingung, dan kamu, terlihat seperti orang yang baik. Kamu terlihat seperti orang yang haus akan sebuah "perjalanan" karena lelah bekerja.

Saat bus berhenti karena sesuatu, kita sepakat untuk turun bersama mencari sesuatu yang tubuh butuhkan, makanan. Kita menemukan sebuah tempat makan kecil. Aku bertanya makanan yang halal karena aku sudah pernah memakan makanan yang tidak halal karena tidak bertanya dahulu, sedangkan kamu tanpa ragu-ragu memesan.

Setelah makan, kita melanjutkan perjalanan yang tertunda sebentar. Masing-masing dari kita bercerita tentang tempat asal. Aku belum pernah ketempatmu tapi aku sedikit tahu tentang tempat asalmu karena aku suka mencari budaya baru dan hal baru di sebuah tempat yang akan aku tuju suatu hari nanti. Kamu baru sekali ke tempat asalku tetapi tidak banyak tahu, kamu bercerita ke tempatku karena kunjungan singkat.

Dalam bus, kita saling membicarakan omong kosong yang terjadi di kehidupan kita masing-masing. Ada beberapa hal yang tidak aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, kemudian lelah menghampiriku. Aku memilih untuk beristirahat agar terus fit untuk sampai di tempat yang akan kita tuju. Kamu memilih untuk mendengarkan lagu dari ipodmu sambil mengabadikan pemandangan dari luar jendela lewat kamera canggih milikmu.


Dan kemudian itu masih berlanjut..

Rabu, 24 September 2014

Kerumunan Yang Bertransformasi Dengan Unik

Beberapa waktu belakangan ini, dunia semakin memperjelas efek media begitu kuat dalam kehidupan nyata. Informasi tersebar begitu cepat, mungkin mengalahkan kendaraan nabi ke surga.
  
Sekarang, kita menjadi generasi menunduk alias melihat handphone setiap saat, walaupun kita berada diantara keramaian, atau hal yang sederhana, berkumpul dengan teman, masing-masing dari kita selalu melihat handphone, kadang kita tidak memperhatikan apa yang dibicarakan teman kita saat itu, kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri. Sesuatu yang awalnya memang kita genggam, tapi perlahan menggenggam seluruh hidup kita, membiarkan kita terkungkung dalam genggamannya, sesuatu yang mencuri kenikmatan udara bebas yang kita hirup setiap harinya, mencuci otak kita dengan mimpi dan fantasi serta imaji yang semu, palsu, penuh dusta dan sementara, seperti kata Tyler, “The thing you own end up owning you”.

Di zaman yang seperti ini juga, zaman yang memperoleh informasi yang begitu cepat kita dapatkan hanya dengan ujung jari kita. Semua informasi datang dalam waktu hitungan detik. Semua lansung tersedia begitu saja. Ada banyak orang yang menerima mentah-mentah tanpa menyaring informasi tersebut,  sedikit yang menyaringnya. Akhirnya, apa yang didapatkan oleh orang-orang yang menerima mentah-mentah tadi, lansung menyebarkan semaunya, tanpa ragu-ragu, tanpa memikirkan efeknya, terkadang.

Dari fenomena Florens yang menghina jogja, warga yang mengkritik walikotanya dan mungkin banyak lagi hal-hal yang tidak enak untuk dikomentari dan dibesar-besarkan. Menciptakan kerumunan di media sosial, kerumunan yang bertransformasi dengan unik.

Sepertinya,orang-orang di zaman sekarang suka dengan hal-hal yang dibesar-besarkan. Suka dengan hal yang setengah matang. Sepertinya melakukan ini sudah menjadi budaya baru. Membuktikan apa yang dikatakan Baudrillard kalau sekarang manusia menjadi makhluk layar kaca dan jaringan. Ruang privat tidak lagi menjadi rahasia, termasuk path yang awalnya diciptakan hanya untuk orang-orang terdekat saja. Sesuatu yang awalnya hanya kita bagi dengan orang-orang yang dekat, kemudian dalam waktu hitungan menit menjadi konsumsi semua orang. 

Mungkin di kemudian hari, berbicara secara lansung dan menikmati suasana hangat yang kita sebut pertemuan, adalah hal yang langka, mungkin.

Minggu, 24 Agustus 2014

SENIORITAS

Tahun ajaran baru bagi mahasiswa baru akan segera dimulai, tentu saja sebelum itu ada berbagai macam kegiatan pengenalan kampus yang diadakan untuk mengenal kampus lebih jauh, biasanya, acara ini oleh mahasiswa dan kampus untuk menyambut mahasiswa baru. Biasanya, acara semacam ini selalu saja menjadi ajang pembuktian diri para senior agar mereka terlihat hebat, terlihat garang  dan berwibawa. Meprihatinkan, begitu SBY mengungkapkan. 

Fenomena ini subur mengakar di lingkungan pendidikan dan memberika warna yang menarik untuk dibahas di dunia pendidikan. Senioritas sendiri belum ada definisinya, tetapi banyak dari kita menyimpulkan bahwa senioritas itu adalah situasi dimana terjadi pemisahan kelompok secara sosial berdasarkan angkatan (dalam kampus) di lingkup pendidikan. Yang lebih duluan masuk, otomatis melabelisasi diri sebagai senior dan baru masuk junior. Ini menjadi pola dasar situasi senioritas. 

Melihat fenomena ini saya teringat kalimat dari sosiolog Prancis yang saya paksakan pemikirannya masuk kedalam skripsi saya, Pierre Bourdieu, “..the habitus is a set of disposition which incline to ACT and REACT in CERTAIN WAYS..”. Agen atau actor dalam konteks senioritas bertindak dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Pernyataan tersebut bertanggung jawab, bukan karena ada sumbernya tetapi secara common sense kita mengiyakan gagasannya jika kita mengerti mengenai fenomena senioritas. Habitus sendiri adalah kecendrungan seseorang (aktor) untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan inilah melahirkan praktik-praktik, perilaku, persepsi yang kemudian menjadi kebiasaan yang tidak lagi dipertanyakan aturan-aturan yang melatarbelakanginya. Apapun yang ada dalam habitus, apapun yang tercipta didalamnya, semuanya melalui proses penanaman Inculquees-Terstruktur (Structurees)-berlangsung lama (Durables)-dapat tumbuh kembang (Generatives)-dan dapat diwariskan atau dipindahkan (Transposable). Seperti senioritas ini, semua hal di dalam senioritas itu tidak begitu saja terbentuk.

Tidak semua orang suka diperlakukan secara keras, layaknya pegas, jika semakin ditarik maka pegas itu akan semakin keras, tak terlenturkan, sama seperti manusia. 

Ketika senior dikritik oleh juniornya, masih saja ada senior yang menutup diri untuk dinilai oleh orang lain, apakah itu generasi yang lebih dulu mengecap pendidikan tinggi? Mereka bisa mengkritik pemerintah tetapi mereka sulit untuk menerima kritikan.

Sikap para senior terkadang menimbulkan dampak negatif, yang menyebabkan mental junior terganggu, sehingga para junior menjadi terkekang akan ruang geraknya. Hal ini disebabkan karena keegoisan senior yang selalu ingin di hormati.

Senioritas itu di perlukan, dibutuhkan. Hanya saja harus bijaksana dalam artian senioritas seperti apa yang ditampilkan. Untuk itu perlu berpikir matang-matang dan mendalam. Tidak semuanya bisa diturunkan kepada junior , harus bijak dan berani memilah. Mana yang positif dan negatif. Sehingga, dengan begitu, yang tersisa hanya ada cinta dan kasih sayang penuh kedamainan, kebersamaan, kebahagiaan antara senior dan junior dalam kerangka sosial senioritas. 

Selasa, 19 Agustus 2014

Tentang Ujung Pandang dan Makassar.

Pernah sebuah pertanyaan muncul ketika membaca sebuah bacaan yang ditulis oleh Ulama Besar Indonesia. Mungkin sejak SD saya sudah mendengarkan kata Makasaar. Waktu itu saya tahu Makassar adalah Ibukota Sulawesi Selatan. Tetapi pernah bertemu dengan orang Sulawesi yang tinggal di luar Sulawesi bahwa dulunya Ibukota Sulsel adalah Ujung Pandang. Kenapa berbeda ya? Lalu saya googling, tapi masih ingin dengar dari orang asli sana lansung, semoga suatu hari bisa memijakkan kaki disana. 

Sejarah perubahan nama dari  Makassar ke Ujung Pandang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1971, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 1971. Ketika itu kota Makassar di mekarkan dari 21 Km2 menjadi 115, 87 Km2. Pemekaran ini mengadopsi sebagian dari tiga wilayah kabupaten yaitu Maros, Gowa, dan Pangkep. Karena kata "Makassar" dianggap mewakili suatu etnis tertentu yaitu "Etnis Makassar", Bupati Gowa (Etnis Makassar) dan Bupati Maros (Etnis Bugis) pada waktu itu menentang keras pemekaran tersebut. Untunglah pertentangan itu bisa diredam dengan syarat kedua Bupati tersebut mau menyerahkan sebagian wilayahnya asalkan nama Makassar diganti. Maka Walikota Makassar pada waktu itu H.M Daeng Patompo (Alm) terpaksa menyetujui perubahan nama tersebut demi perluasan wilayah kota. 

"Namanya unik Ujung Pandang, asal kata Ujung Pandang itu dari mana?

Kata Ujung Pandang itu diambil dari nama Benteng yaitu Benteng Ujung Pandang (sekarang bernama Benteng Fort Rotterdam) yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-X Tunipalangga (tahun 1545).  Setelah bagian luar benteng selesai, dibangunlah bangunan khas Gowa didalamnya yang terbuat dari kayu. Sementara di bagian luar benteng terbentuklah sebuah perkampungan yang semakin lama semakin ramai. Disanalah kampung Jourpandan (Juppandang) sedangkan benteng dijadikan sebagai kota kecil di tepi Pantai Losari. 
Menurut orang yang Makassar ketika saya menanyakan tentang Ujung Pandang dan Makassar, beliau menjawab Ujung Pandang sering digunakan oleh orang Bugis untuk menunjukan kota Makassar dan perubahan Ibukota itu sendiri merupakan keinginan dari masyarakat yang sudah lama dan baru tercapai pada masa Presiden BJ. Habibie tanpa proses yang berbelit-belit.

Sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Ujungpandang